Ini dari Teropong Indosiar cuma pengen berbagi aja
Reporter: Achmad Baehaqi
Juru Kamera: Dedy Effendi
Tayang: Selasa, 11 April 2006, Pukul 12.00 Wib
indosiar.com, Ponorogo - Ponorogo adalah kota kabupaten yang terletak di wilayah Provinsi Jawa Timur. Salah satu ciri kasnya adalah kesenian Reog.
Di kota yang berpenduduk kurang dari 1 juta jiwa ini, Reog dipertunjukkan secara massal melalui ajang Festival Reog Nasional selama 7 hari setiap menjelang tahun baru Hijriah. Tapi Reog bukan kesenian biasa. Ia juga menyimpan sisi gelap yang bernama Gemblak, pria pendamping sang Warok.
Setiap tanggal 1 Muharam penanggalan Islam atau 1 Suro bagi orang Jawa, Kabupaten Ponorogo pasti ramai.
Sekitar 38 peserta Festival Reog Nasional hadir di sini mempertontonkan kehebatan masing-masing.
Sebuah kelompok Reog biasanya beranggotakan 20 sampai 30 orang. Dan tokoh penting dalam kesenian ini adalah Warok. Ia sebagai pemimpin Reog dan pembawa singa barong.
Yang membuat Reog istimewa adalah pembawa singa barong. Butuh kekuatan ekstra untuk mengangkat singa atau dadak seberat 40 kilogram ini, hanya dengan mengandalkan kekuatan gigi. Sehingga banyak yang mengaitkan Reog dengan kekuatan supra natural.
Kesenian ini diduga peninggalan tradisi Kerajaan Hindu Kediri yang berkuasa sekitar tahun 1045 hingga tahun 1222 Masehi. Karena itu pentas Reog tidak pernah lepas dari pakem cerita peperangan antara Kerajaan Bantar Angin dan Kediri.
Kesenian tetap bertahan karena tidak lepas dari peran seorang Lembu Kanigoro alias Batoro Katong keturunan Raja Brawijaya ke V yang telah memeluk Islam.
Batoro Katong yang juga merupakan murid Sunan Ampel menyebarkan Islam di bumi Ponorogo melalui kesenian Reog.
Untuk mengigatkan jasa dan peran Batoro Katong, masyarakat Ponorogo melakukan pawai sejauh 20 kilometer dari Kota Ponlama ke Kabupaten yang baru. Pawai ini juga melambangkan peristiwa Hijrah dari tradisi Hindu ke tradisi Islam.
Begitu pentingnya sosok Batoro Katong dalam kesenian Reog, Kami mengunjungi makamnya. Disampingi Anam Adriansyah, Budayawan Ponorogo Kami berkenalan dengan Sunardi, sang juru kunci. Ia sudah puluhan tahun menekuni pekerjaannya.
Makam Batoro Katong ini sangat dihormati di Ponorogo. Karena dialah yang mengubah wajah kesenian Reog yang dahulunya citranya buruk, kini perlahan mulai berubah.
Citra buruk yang melekat pada kesenian ini adalah Warok. Warok dikenal sebagai manusia sakti. Namun kesaktiannya akan berkurang, bahkan hilang bila ia berhubungan intim dengan perempuan, walaupun istrinya sekalipun.
Karena pantangan ini, hadirlah sang Gemblak. Sosok pemuda belia berumur antara 10 hingga 17 tahun. Dialah yang menjadi teman hidup sang Warok. Bagi seorang Warok, semakin banyak Gemblak yang dimiliki, kian tinggi status sosial yang dia sandang.
Benarkah Sebagai Pemuas Nafsu ?
Rumah yang Kami kunjungi ini adalah rumah seorang Warok Raden Darwijanto. Mbah Darwi, demikianlah yang biasa disapa. Beberapa perangkat yang dijadikan alat kesaktian seperti keris, tombak dan sebagainya nyaris memenuhi ruang tamunya.
Sebagai seorang Warok, Mbah Darwi pernah punya Gemblak hingga 5 orang. Tapi kini ia mengaku tidak punya lagi. Seseorang diakui sebagai Warok bila ia punya ilmu kanuragan atau ilmu kekebalan. Agar kesaktian ini terjaga, Warok harus jauh dari perempuan. Sehingga untuk pemuas batin maka diperlukan Gemblak.
Namun tidak sedikit pula Warok yang membangun keluarga dengan beristri dan memiliki anak. Tapi konon, perlahan dan pasti diyakini kesaktiannya akan berkurang.
Untuk mendapatkan Gemblak, seorang Warok harus melakukan peminangan terhadap orangtua calon Gemblak dengan berbagai syarat. Selayaknya meminang calon istri.
Biasanya Gemblak dikontrak selama 2 tahun. Setelah selesai sang Warok akan memberi modal untuk masa depan si Gemblak, seperti seekor sapi. Namun kontrak bisa diperpanjang lagi tergantung pada bosan tidaknya sang Warok.
Menurut Mbah Darwi yang juga pengajar di sebuah SMP ini tidak setiap Warok memelihara Gemblak untuk kepentingan pemuas seks menyimpang. Dirinya memperlakukan Gemblak layaknya anak asuh. Gemblak di pelihara dan mendapat pendidikan.
Karena itu juga umumnya orangtua calon Gemblak tidak menolak jika putranya dilamar sang Warok. Apalagi calon Gemblak datang dari keluarga tidak mampu.
Kami juga menemui seorang mantan Gemblak. Sebut saja namanya Kumbang. Ketika usianya masih belasan tahun, ia sudah dipinang seorang Warok. Saat itu sang ayah sudah meninggal, ibunya pun tidak bisa berbuat banyak untuk menopang hidup.
Tanpa paksaan ataupun takut Kumbang menjadi Gemblak. Ia tidak menyesal dengan profesinya. Namun toh ia tetap malu mengungkap jati dirinya. Dalam keseharian, seorang Gemblak melayani keperluan sang Warok seperti memelihara hewan kesayangan dan menyiapan minuman.
Saat-saat menyenangkan biasanya terjadi ketika Gemblak diajak sang Warok bepergian. Masing-masing bangga dengan pasangannya. Gemblak yang tanpan dan Warok yang mapan. Namun bukan saja sang Warok yang bisa memiliki Gemblak. Namun ada sosok lain yakni Pengemblak.
Betulkan Itu Masa Lalu
Dalam dunia Reog Ponorogo juga dikenal dengan istilah Pengemblak. Ia bukan Warok, tapi pernah memimpin grup Reog. Mbah Misman KS, misalnya. Dengan blak-blakan ia menuturkan pengalamannya. Ia mengaku pernah memiliki Gemblakan lebih dari 4 orang. Tujuan awalnya memelihara Gemblak untuk memiliki ilmu kanuragan dan kesaktian, agar seperti Warok.
Misman memperlakukan Gemblak layaknya seorang istri. Bahkan untuk pemuas hasrat seksual Misman melakukan hubungan badan dengan Gemblak. Tapi soal bentuk hubungan intim itu biasanya tergantung pada kehendak sang tuan.
Tapi perlahan ia pun mulai berubah, seiring kian lekat dirinya mendalami agama Islam. Ia merasa Warok identik dengan perilaku negatif seperti mabuk-mabukan, merampok dan perilaku seks menyimpang yang dipersenifikasi dengan Gemblak. Sekarang, ayah 6 anak inipun memilih hidup normal menjadi petani.
Di Ponorogo, citra Warok yang negatif sebetulnya sudah sejak puluhan tahun lalu terus diperbaiki. Bahkan sejak Batoro Katong mulai menyebarkan agama Islam di tanah ini.
Salah satu saksi perubahan itu adalah Kasni Gunopati atau yang lebih dikenal sebagai Mbah Wo Kucing. Sekarang Warok kenamaan ini sakit-sakitan. Namun sesepuh Reog Ponorogo ini tidak pernah enggan menjernihkan makna Warok.
Sesuai dengan asal katanya muwarah yang bermakna penunjuk atau penuntun, seorang Warok sejatinya bukanlah seorang yang sombong dan takabur. Tapi Warok merupakan sosok manusia teladan siap memberikan tuntutan dan pengajaran serta perlindungan tanpa pamrih kepada masyarakat.
Mengubah citra Warok berarti juga mengubah keberadaan Gemblak, sesosok lelaki belia yang ganteng dan kemayu kini berganti dengan kehadiran penari jatil yang diperankan perempuan. Merekalah yang mengantikan posisi Gemblak dalam setiap pentas Reog.
Dalam kesehariannya pun kini sudah sulit menemukan praktek Gemblak. Kalaupun ada mungkin tidak seintim dahulu. Tidak gampang mengubah perilaku. Buktinya puluhan tahun berlalu, kisah sumbang hubungan Warok dengan Gemblaknya masih bergaung.
Memang mengubah citra kesenian tidak semudah membalikan tangan, karena Reog mengakar dari sebuah tradisi. Sebagai sebuah tontoan, Reog tetap menarik dan menghibur. Tanpa Sang Warok kesenian ini kehilangan makna, kendati sosok menyeramkan ini memiliki sisi kehidupan yang gelap. (Sup)