PONOROGO....!!!!
Ketika mendengar nama itu setiap orang pasti akan mengaitkannya dengan kesenian adiluhung yang tersohor ke penjuru negeri, REYOG PONOROGO. Banyak dari kita yang sudah mendengar dan mengetahui tentang sejarah asal mula Reog Ponorogo,namun sudah tahukah kita sejarah asal usul kota tempat lahirnya Reyog ini?
Sudah saatnya kita mengenal dan mengenalkan kepada orang lain tentang sejarah kota Ponorogo ini. Dengan mengenal lebih dalam tentang Ponorogo, diharapkan bisa menumbuhkan rasa cinta terhadap Ponorogo. Selain itu dengan belajar tentang sejarah Ponorogo bisa menghargai dan mentauladani perjuangan-perjuangan pendiri Ponorogo.
***
Pada tahun 1478 Masehi Kerajaan Majapahit jatuh dan kemasyhurannya telah hilang kemudian muncullah kerajaan baru yaitu Kerajaan Demak dibawah pimpinan Raden Patah. Raden Bathara Katong yang merupakan putra dari raja Majapahit Brawijaya V ikut bergabung dengan kakaknya Raden Patah di Kerajaan Demak. Raden Bathara Katong dididik kakaknya dengan ajaran-ajaran Islam.
Setelah dewasa Raden Bathara Katong diberi tugas oleh Raden Patah untuk pergi ke Wengker untuk menyelidiki daerah tersebut bersama Senapati Sela Aji. Wengker adalah wilayah yang berada di sebelah timur Gunung Lawu. Batas sebelah selatan adalah laut selatan, batas timur adalah Gunung Wilis dan batas sebelah utara adalah wilayah Majapahit. Raden Bathara Katong dan Senapati Sela Aji tiba di wilayah Wengker ketika hari mulai gelap. Mereka mulai kebingungan untuk menjalankan tugas karena belum mengenal seluk beluk Wengker, ditambah lagi hari yang mulai menginjak malam. Untunglah dari kejauhan terlihat nyala api yang menyala. Mereka segera menuju ketempat asal api menyala. Setelah dekat dari pusat api terlihat sebuah rumah sederhana yang di sampingnya terdapat bangunan surau kecil.
Kedatangan Raden Bathara Katong dan Senapati Sela Aji disambut gembira dan senang hati oleh pemilik rumah dan surau kecil itu, yaitu seorang lelaki tua. Lelaki tua tersebut mengenalkan dirinya dengan nama Kiai Ageng Mirah. Raden Bathara Katong dan Senapati Sela Aji mengaku terus terang jika mereka adalah utusan dari Kerajaan Demak untuk menyelidiki daerah Wengker.
Kiai Ageng Mirah merasa senang hati menerima tamu agung dari Kerajaan Demak. Keduanya kemudian diajak sholat magrib berjamaah. Setelah usai sholat Kiai Ageng Mirah mulai menceritakan seluk beluk dan garis besar daerah Wengker. Setelah hari larut malam, Kia Ageng Mirah menyuruh mereka menginap dirumahnya.
Keesokan harinya Kia Ageng Mirah menyertai Raden Bathara Katong dan Senapati Sela Aji
melihat – lihat keadaan. Setelah dirasa cukup Raden Bathara Katong dan Sela Aji kembali ke Demak dengan mengajak Ki Ageng Mirah untuk melaporkan hasil penyelidikkannya. Setelah mendengar laporan dari Bathara Katong, Raden Patah memutuskan mengangkat Raden Bathara Katong sebagai penguasa Wengker, dan mengangkat Senapati Sela Aji sebagai patih. Sedangkan Ki Ageng Mirah diangkat menjadi penasehat. Raden Bathara Katong bersama patih Sela Aji dan Ki Ageng Mirah kembali ke Wengker. Mereka disertai 40 prajurit Demak untuk membuka hutan di Wengker. Sesampainya di Wengker mereka sibuk mencari tempat yang cocok untuk mendirikan kadipaten. Sampai akhirnya mereka sampai di hutan glagah yang berbau wangi. Raden Bathara Katong member nama hutan itu Glagah Wangi. Di hutan inilah rombongan mulai membuka hutan.
Pekerjaan membuka hutan pun selesai, kemudian dilanjutkan membangun tempat tinggal. Namun dalam pembuatan tempat tinggal ini mendapatkan halangan. Ketika rumah telah usai didirikan keesokan harinya rumah-rumah tersebut roboh lagi. Ki Ageng Mirah tahu kalau ada makhluk yang mengganggu. Ki Ageng Mirah kemudian mengajak Raden Bathara Katong untuk bertapa. Pada tengah malam muncul hal gaib yaitu keluar angin besar dan tiba-tiba muncul dua sosok makhluk tinggi besar. Mereka mengaku penunggu hutan yang dibuka Raden Bathara Katong, mereka bernama Jayadrana dan Jayadipa. Kemudian Raden Bathara Katong meminta ijin kepada mereka untuk mendirikan sebuah kadipaten ditempat tersebut. Setelah mendapatkan izin dari Jayadrana dan Jayadipa pembangunan dapat diselesaikan dengan lancar. Jayadipa pula yang kemudian menunjukkan tempat yang cocok untuk pusat kota. Tempat itu berada di tengah-tengah hutan yang sudah dibuka tersebut.
Ditempat ini pula Raden Bathara Katong menemukan tiga pusaka. Pusaka yang pertama berbentuk paying yang bernama Payung Tunggul Wulung, pusaka kedua berupa tombak yang bernama tombak Tunggul Naga. Dan pusaka yang ketiga berupa sabuk yang bernama Sabuk Chinde Puspita.
Pada saat Raden Bathara Katong mengambil ketiga pusaka tersebut terjadi tiga kali ledakan besar dan membuat tanah berhamburan. Tanah – tanah yang berhamburan tersebut kemudian membentuk lima bukit. Bukit-bukit tersebut ada yang dinamakan Gunung Lima dan Gunung Sepikul. Sedangkan lobang bekas ledakan menjadi sebuah goa yang diberi nama Goa Sigala Gala. Ternyata ketiga pusaka terrsebut adalah milik ayah Raden Bathara Katong, Prabu Brawijaya V. Saat itu Majapahit di bawah pimpinan Raja Brawijaya V diserang oleh Raja Girindrawardana. Kemudian Raja Brawijaya mengungsi ke Wengker bersama Jayadrana dan Jayadipa.
Raden Bathara Katong semakin mantap membangun Wengker setelah mendapatkan pusaka warisan orang tuanya. Pembangunan Wengker mulai berkembang dengan baik. Hutan sudah berhassil dibuka. Rumah sudah didirikan, banyak pendatang yang ikut bergabung didalamnya. Akhirnya terbentuklah sebuah kadipaten baru. Namun sayang kota tersebut belum mempunyai nama. Untuk member nama kota tersebut, Raden Bathara Katong mengadakan musyawarah. Dari musyawarah tersebut disepakati sebuah nama baru untuk kota tersebut, nama itu adalah Pramono Rogo. Pramono berarti bersatunya cahaya matahari dan bulan yang menyinari kehidupan di bumi, dan rogo berarti badan. Nama Pramono rogo ini lama kelamaan berubah menjadi Ponorogo. Pono berarti tahu akan segala sesuatu, dan rogo berari badan manusia.
"Jadi Ponorogo berarti manusia yang tahu akan kedudukannya sebagai manusia."
Sumber : buku Cerita Rakyat dari Ponorogo karangan Edy Santosa
0 komentar:
Posting Komentar