Makam Betoro Katong

           Batoro Katong memang tak bisa lepas dari alam bawah sadar masyarakat Ponorogo, dan menjadi simbol masa lalu (sejarah) sekaligus bagian dari masa kini. Batoro Katong bukan sekedar bagian dari realitas masa lalu, namun adalah bagian dari masa kini. Hidup di alam hiperealitas, dan menjadi semacam belief yang boleh emosi, keyakinan, kepercayaan masyarakat. Mengutip The Penguin Dictionary of Psycology, Niniek L.Karim mendefinisikan belief sebagai penerimaan emosional terhadap suatu proposisi, pernyataan dan doktrin tertentu.

        Bagi kalangan tokoh-tokoh muslim tradisional, Batoro Katong tidak lain adalah peletak dasar kekuasaan politik di Ponorogo, dan lebih dari itu seorang pengemban misi dakwah Islam pertama. Posisinya sebagai penguasa sekaligus ulama pertama Ponorogo inilah yang menjadi menarik untuk dilacak lebih jauh, terutama dalam kaitan membaca wilayah alam bawah sadar yang menggerakkan kultur politik kalangan pesantren, khususnya elit-elitnya (kyai dan para pengasuh pesantren) di Ponorogo.

        Alam bawah sadar inilah yang menurut psikolog Freudian, dominan menggerakkan perilaku manusia. Dan alam bawah sadar ini terbentuk dari tumpukan keyakinan, nilai, trauma-trauma yang terjadi dimasa lalu, yang kemudian hidup terus di bawah kesadaran individu dan suatu masyarakat dari waktu ke waktu.

         Bagi masyarakat Ponorogo, Batoro Katong adalah tokoh dan penguasa pertama yang paling legendaris dalam masyarakat Ponorogo. Sampai saat ini Batoro Katong adalah simbol kekuasaan politik yang terus dilestarikan oleh penguasa di daerah ini dari waktu ke waktu. Tidak ada penguasa Ponorogo, yang bisa melepaskan dari figur sejarah legendaris ini.
        Pintu Gerbang kompleks  pemakaman Betoro Katong di Desa Setono, Kec Jenangan, Ponorogo.

                                                      Komplek Pemakaman Betoro Katong


                                                              Makam Betoro Katong

Betoro Katong

           Raden Katong, yang kemudian lazim disebut Batoro Katong, bagi masyarakat Ponorogo mungkin bukan sekedar figur sejarah semata. Hal ini terutama terjadi di kalangan santri yang meyakini bahwa Batoro Katong-lah penguasa pertama Ponorogo, sekaligus pelopor penyebaran agama Islam di Ponorogo.

        Batoro Katong, memiliki nama asli Lembu Kanigoro, pembawa Islam pertama dan Legendaris Ponorogo tidak lain adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari selir yakni Putri Campa yang beragama Islam. Mulai redupnya kekuasaan Majapahit, saat kakak tertuanya, Lembu Kenongo yang berganti nama sebagai Raden Fatah, mendirikan kesultanan Demak Bintoro. Lembu Kanigoro mengikut jejaknya, untuk berguru di bawah bimbingan Wali Songo di Demak. Prabu Brawijaya V yang pada masa hidupnya berusaha di-Islamkan oleh Wali Songo, para Wali Islam tersebut membujuk Prabu Brawijaya V dengan menawarkan seorang Putri Campa yang beragama Islam untuk menjadi Istrinya.

            Berdasarkan catatan sejarah keturunan generasi ke-126 beliau yaitu Ki Padmosusastro, disebutkan bahwa Batoro Katong dimasa kecilnya bernama Raden Joko Piturun atau disebut juga Raden Harak Kali. Beliau adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari garwo pangrambe (selir yang tinggi kedudukannya).

            Walaupun kemudian Prabu Brawijaya sendiri gagal untuk di-Islamkan, tetapi perkawinannya dengan putri Cempa mengakibatkan meruncingnya konflik politik di Majapahit. Diperistrinya putri Cempa oleh Prabu Brawijaya V memunculkan reaksi protes dari elit istana yang lain. Sebagaimana dilakukan oleh seorang punggawanya bernama Pujangga Anom Ketut Suryongalam. Seorang penganut Hindu, yang berasal dari Bali.

            Tokoh yang terakhir ini, kemudian desersi untuk keluar dari Majapahit, dan membangun peradaban baru di tenggara Gunung Lawu sampai lereng barat Gunung Wilis, yang kemudian dikenal dengan nama Wengker (atau Ponorogo saat ini). Ki Ageng Ketut Suryangalam ini kemudian di kenal sebagai Ki Ageng Kutu atau Demang Kutu. Dan daerah yang menjadi tempat tinggal Ki Ageng Kutu ini dinamakan Kutu, kini merupakan daerah yang terdiri dari beberapa desa di wilayah Kecamatan Jetis.

             Ki Ageng Kutu-lah yang kemudian menciptakan sebuah seni Barongan, yang kemudian disebut REOG. Dan reog tidak lain merupakan artikulasi kritik simbolik Ki Ageng Kutu terhadap raja Majapahit (disimbolkan dengan kepala harimau), yang ditundukkan dengan rayuan seorang perempuan/Putri Campa (disimbolkan dengan dadak merak). Dan Ki Ageng Kutu sendiri disimbolkan sebagai Pujangga Anom atau sering di sebut sebagai Bujang Ganong, yang bijaksana walaupun berwajah buruk.

Sejarah Kota Ponorogo

PONOROGO....!!!!

Ketika mendengar nama itu setiap orang pasti akan mengaitkannya dengan kesenian adiluhung yang tersohor ke penjuru negeri, REYOG PONOROGO. Banyak dari kita yang sudah mendengar dan mengetahui tentang sejarah asal mula Reog Ponorogo,namun sudah tahukah kita sejarah asal usul kota tempat lahirnya Reyog ini?
Sudah saatnya kita mengenal dan mengenalkan kepada orang lain tentang sejarah kota Ponorogo ini. Dengan mengenal lebih dalam tentang Ponorogo, diharapkan bisa menumbuhkan rasa cinta terhadap Ponorogo. Selain itu dengan belajar tentang sejarah Ponorogo bisa menghargai dan mentauladani perjuangan-perjuangan pendiri Ponorogo.
***
          Pada tahun 1478 Masehi Kerajaan Majapahit jatuh dan kemasyhurannya telah hilang kemudian muncullah kerajaan baru yaitu Kerajaan Demak dibawah pimpinan Raden Patah. Raden Bathara Katong yang merupakan putra dari raja Majapahit Brawijaya V ikut bergabung dengan kakaknya Raden Patah di Kerajaan Demak. Raden Bathara Katong dididik kakaknya dengan ajaran-ajaran Islam.

             Setelah dewasa Raden Bathara Katong diberi tugas oleh Raden Patah untuk pergi ke Wengker untuk menyelidiki daerah tersebut bersama Senapati Sela Aji.  Wengker adalah wilayah yang berada di sebelah timur Gunung Lawu. Batas sebelah selatan adalah laut selatan, batas timur adalah Gunung Wilis dan batas sebelah utara adalah wilayah Majapahit. Raden Bathara Katong dan Senapati Sela Aji tiba di wilayah Wengker ketika hari mulai gelap. Mereka mulai kebingungan untuk menjalankan tugas karena belum mengenal seluk beluk Wengker, ditambah lagi hari yang mulai menginjak malam. Untunglah dari kejauhan terlihat nyala api yang menyala. Mereka segera menuju ketempat asal api menyala. Setelah dekat dari pusat api terlihat sebuah rumah sederhana yang di sampingnya terdapat bangunan surau kecil.

           Kedatangan Raden Bathara Katong dan Senapati Sela Aji disambut gembira dan senang hati oleh pemilik rumah dan surau kecil itu, yaitu seorang lelaki tua. Lelaki tua tersebut mengenalkan dirinya dengan nama Kiai Ageng Mirah. Raden Bathara Katong dan Senapati Sela Aji mengaku terus terang jika mereka adalah utusan dari Kerajaan Demak untuk menyelidiki daerah Wengker.
Kiai Ageng Mirah merasa senang hati menerima tamu agung dari Kerajaan Demak. Keduanya kemudian diajak sholat magrib berjamaah. Setelah usai sholat Kiai Ageng Mirah mulai menceritakan seluk beluk dan garis besar daerah Wengker. Setelah hari larut malam, Kia Ageng Mirah menyuruh mereka menginap dirumahnya.

              Keesokan harinya Kia Ageng Mirah menyertai Raden Bathara Katong dan Senapati Sela Aji 
melihat – lihat keadaan. Setelah dirasa cukup Raden Bathara Katong dan Sela  Aji kembali ke Demak dengan mengajak Ki Ageng Mirah untuk melaporkan hasil penyelidikkannya. Setelah mendengar laporan dari Bathara Katong, Raden Patah memutuskan mengangkat Raden Bathara Katong sebagai penguasa Wengker, dan mengangkat Senapati Sela Aji sebagai patih. Sedangkan Ki Ageng Mirah diangkat menjadi penasehat. Raden Bathara Katong bersama patih Sela Aji dan Ki Ageng Mirah kembali ke Wengker. Mereka disertai 40 prajurit Demak untuk membuka hutan di Wengker. Sesampainya di Wengker mereka sibuk mencari tempat yang cocok untuk mendirikan kadipaten. Sampai akhirnya mereka sampai di hutan glagah yang berbau wangi. Raden Bathara Katong member nama hutan itu Glagah Wangi. Di hutan inilah rombongan mulai membuka hutan.

           Pekerjaan membuka hutan pun selesai, kemudian dilanjutkan membangun tempat tinggal. Namun dalam pembuatan tempat tinggal ini mendapatkan halangan. Ketika rumah telah usai didirikan keesokan harinya rumah-rumah tersebut roboh lagi. Ki Ageng Mirah tahu kalau ada makhluk yang mengganggu. Ki Ageng Mirah kemudian mengajak Raden Bathara Katong untuk bertapa. Pada tengah malam muncul hal gaib yaitu keluar angin besar dan tiba-tiba muncul dua sosok makhluk tinggi besar. Mereka mengaku penunggu hutan yang dibuka Raden Bathara Katong, mereka bernama Jayadrana dan Jayadipa. Kemudian Raden Bathara Katong meminta ijin kepada mereka untuk mendirikan sebuah kadipaten ditempat tersebut. Setelah mendapatkan izin dari Jayadrana dan Jayadipa pembangunan dapat diselesaikan dengan lancar.  Jayadipa pula yang kemudian menunjukkan tempat yang cocok untuk pusat kota. Tempat itu berada di tengah-tengah hutan yang sudah dibuka tersebut. 
                Ditempat ini pula Raden Bathara Katong menemukan tiga pusaka. Pusaka yang pertama berbentuk paying yang bernama Payung Tunggul Wulung, pusaka kedua berupa tombak yang  bernama tombak Tunggul Naga. Dan pusaka yang ketiga berupa sabuk yang bernama Sabuk Chinde Puspita.
Pada saat Raden Bathara Katong mengambil ketiga pusaka tersebut terjadi tiga kali ledakan besar dan membuat tanah berhamburan. Tanah – tanah yang berhamburan tersebut kemudian membentuk lima bukit. Bukit-bukit tersebut ada yang dinamakan Gunung Lima dan Gunung Sepikul. Sedangkan lobang bekas ledakan menjadi sebuah goa yang diberi nama Goa Sigala Gala. Ternyata ketiga pusaka terrsebut adalah milik ayah Raden Bathara Katong, Prabu Brawijaya V. Saat itu Majapahit di bawah pimpinan Raja Brawijaya V diserang oleh Raja Girindrawardana. Kemudian Raja Brawijaya mengungsi ke Wengker bersama Jayadrana dan Jayadipa.

               Raden Bathara Katong semakin mantap membangun Wengker setelah mendapatkan pusaka warisan orang tuanya. Pembangunan Wengker mulai berkembang dengan baik. Hutan sudah berhassil dibuka. Rumah sudah didirikan, banyak pendatang yang ikut bergabung didalamnya. Akhirnya terbentuklah sebuah kadipaten baru. Namun sayang kota tersebut belum mempunyai nama. Untuk member nama kota tersebut, Raden Bathara Katong mengadakan musyawarah. Dari musyawarah tersebut disepakati sebuah nama baru untuk kota tersebut, nama itu adalah Pramono Rogo. Pramono berarti bersatunya cahaya matahari dan bulan yang menyinari kehidupan di bumi, dan rogo berarti badan.  Nama Pramono rogo ini lama kelamaan berubah menjadi Ponorogo. Pono berarti tahu akan segala sesuatu, dan rogo berari badan manusia.

"Jadi Ponorogo berarti manusia yang tahu akan kedudukannya sebagai manusia."

Sumber : buku Cerita Rakyat dari Ponorogo karangan Edy Santosa

Reog Sebagai mEdia Dakwah Betoro katong

         Raden  Batoro Katong, bagi masyarakat Ponorogo diyakini menjadi penguasa pertama Ponorogo, sekaligus pelopor penyebaran agama Islam di Ponorogo. Batoro Katong, memiliki nama asli Lembu Kanigoro, tidak lain adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari selir yakni Putri Campa yang beragama Islam. Mulai redupnya kekuasaan Majapahit, saat kakak tertuanya, Lembu Kenongo yang berganti nama sebagai Raden Fatah, mendirikan kesultanan Demak Bintoro. Lembu Kanigoro mengikut jejaknya, untuk berguru di bawah bimbingan Wali Songo di Demak. Prabu Brawijaya V yang pada masa hidupnya berusaha di-Islamkan oleh Wali Songo, para Wali Islam tersebut membujuk Prabu Brawijaya V dengan menawarkan seorang Putri Campa yang beragama Islam untuk menjadi Istrinya.

         Pada saat pemerintahan Kerajaan Demak, Batoro Katong diperintahkan untuk menyelidiki daerah Wengker. Singkat cerita Batoro Katong menjadi Bupati pertama Ponorogo. Pada saat itu di Wengker terdapat kesenian barongan, kemudian oleh Batoro Katong nama Barongan diganti dengan nama Reyog. Reyog tersebut digunakan sebagai media untuk menyebarkan ajaran Islam di daerah Wengker. Berikut ini salah satu contoh media da’wah Raden Batoro Katong.

1. DADAK REYOG
      Dadak reyog diambil dari bahasa arab “Riyoqun” yang bermakna Khusnul Khotimah. Hal ini bisa diartikan seluruh perjalanan hidup manusia dilumuri dengan berbagai dosa dan noda, bilamana sadar dan beriman yang pada akhirnya bertaqwa kepada Tuhan maka jaminannya adalah sebagai manusia yang sempurna dan menjadi muslim sejati. Dalam Reyog terdapat topeng Harimau (Barongan / Cekathakan ) yang angker dan angkuh dihiasi oleh bulu burung merak yang hijau kebiru – biruan dan mengkilat. Topeng harimau melambangkan kejahatan dan bulu merak melambangkan kebajikan. Ini mengingatkan kepada kita bahwa setiap kejahatan akan terkalahkan oleh kebajikan.

         Selain warna bulu merak yang indah, kalau kita amati ada 4 (empat) warna yang dominan dalam kesenian reog yaitu hitam, putih, kuning dan merah. Warna – warna ini bukanlah tanpa makna namun para pinesepuh telah menempatkan warna yang mempunyai makna atau yang menyimbolkan nafsu – nafsu yang ada dalam diri manusia. Secara garis besar warna – warna itu menyimbolkan :
1. Warna Merah menyimbolkan nafsu AMARAH
2. Warna Putih menyimbolkan nafsu MUTH’MAINAH
3. Warna Hitam menyimbolkan nafsu ALWAMAH
4. Warna Kuning menyimbolkan nafsu SUFIYAH
 
           Simbol nafsu manusia ini dapat dipahami secara mendalam oleh beberapa atau pemain dan penonton kesenian reog. Wacana ini dapat diterangkan oleh sesepuh atau penangkapan secara alami oleh penonton dan penari. Simbolisasi ini juga relevan dengan proses kejiwaan dalam ilmu kanuragan Jawa yaitu dimulai dari proses KANURAGAN, KASEPUHAN, KASUKSMAN dan KASAMPURNAN. Simbolisasi atas warna – warna dominan dalam kesenian Reog inilah yang dapat dipetik dari tujuan Tontonan yang bisa membawa ke arah Tuntunan.
 
2. KENDANG
Kendang diambil dari Bahasa Arab “Qoda’a” yang bermakna rem. Artinya sebagai manusi yang hidup dimuka bumi kita harus sadar bahwa kita tak akan hidup selamanya. Maka dari itu dibutuhkan rem untuk mengendalikan kehidupan kita agar tak terjerumus dalam keangkara murkaan.
Kendang menentukan irama cepat atau lambat dan berbunyi dang, dang, dang. Ndang artinya segeralah, berarti segeralah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

3. KENONG
Kenong diambil dari Bahasa Arab “Qona’a” yang bermakna menerima takdir. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan kita dilarang untuk mengeluh dengan apa yang terjadi pada diri kita. Kita diwajibkan untuk selalu berusaha dan berdoa untuk merubah hidup kita.
Kenong memiliki suara nang, ning, nong, nung. Nang berarti ana, ning berate bening, nong berarti plong (mengerti), nung berarti dumunung (sadar). Maksutnya setelah manusia ada lalu berfikir dengan hati hyang bening maka dapat mengerti sehingga sadar bahwa keberadaannya tentu ada yang menciptakannya yaitu Allah SWT.

4. KETIPUNG
Ketipung diambil dari Bahasa Arab ”Katifun” yang berarti balasan. Setiap perbuatan yang kita lakukan dimuka bumi ini akan mendapatkan balasan dari tuhan kelak di hari akhir. Untuk itu kita dianjurkan untuk selalu berbuat kebajikan setiap waktu.

5. KETHUK
Diambil dari Bahasa Arab “Khotok” yang berarti banyak salah. Manusia adalah tempatnya berbuat salah dan dosa, maka dari itu kita selalu diingatkan untuk selalu bertaubat.
Kethuk berbunyi thuk, artinya matuk atau setuju.

6. GONG KEMPUL
Gong berarti Gung, setiap amal manusia dipertanggungjawabkan dihadapan Yang Maha Agung.
Kempul berasal dari Bahasa Arab “ Kafulun” artinya pembalasan atau imbalan. Setiap perbuatan yang kita lakukan akan dicatat oleh malaikat yang selalu menyertai kita.
Kempul artinya kumpul atau jama’ah. Setelah ditabuh sekali dua kali, tiga kali disusul bunyi gong yang artinya agung. Lagu yang dibunyikan selalu berakhir dengan bunyi gong. Semua ibadah kita tujukan kepada yang Maha Agung.

7. TEROMPET ATAU SULING
Diambil dari Bahasa Arab “Shuwarun” artnya peringatan. Hidup manusia didunia hanya sementara, kita selalu diingatkan untuk mengisi hidup kita dengan kebaikan.
Suling artinya eling atau ingat. Ingat kepada yang menjadikan hidup. ingat
bahwa hidup di dunia tidak lama. Ingat bahwa ada kehidupan yang kekal dan bahagia yang dapat dicapai dengan amal ibadah sebanyak-banyaknya.

8. ANGKLUNG
Berasal dari Bahasa Arab “Anqul” artinya peralihan. Artinya peralihan dari hal buruk menjadi baik.

9. WAROK
Berasal dari bahasa Arab “Wira’I” artinya tirakat. Kehidupan dunia ini penuh godaan dari segala penjuru, untuk itu perlu tirakat untuk menjauhkan godaan-godaan tersebut.

10. PENADHON
Dari Bahasa Arab “Fanadun” artinya lemah. Setiap manusia memiliki kelemahan atau kekurangan-kekurangan, namun kita dilarang berputus asa karena kelemahan kita.

11.  USUS-USUS Atau KOLOR
Diambil dari Bahasa arab “Ushusun” artinya tali atau ikatan. Manusia wajib berpegang teguh pada tali Allah dalam hubungan vertical kepada Tuhan YME dan hubungan dengan sesama manusia. Selain itu Islam sangat menganjurkan umatnya untuk selalu menjaga ikatan silaturahmi.

Ini dari Teropong Indosiar cuma pengen berbagi aja
Reporter: Achmad Baehaqi
Juru Kamera: Dedy Effendi
Tayang: Selasa, 11 April 2006, Pukul 12.00 Wib

indosiar.com, Ponorogo - Ponorogo adalah kota kabupaten yang terletak di wilayah Provinsi Jawa Timur. Salah satu ciri kasnya adalah kesenian Reog.

Di kota yang berpenduduk kurang dari 1 juta jiwa ini, Reog dipertunjukkan secara massal melalui ajang Festival Reog Nasional selama 7 hari setiap menjelang tahun baru Hijriah. Tapi Reog bukan kesenian biasa. Ia juga menyimpan sisi gelap yang bernama Gemblak, pria pendamping sang Warok.

Setiap tanggal 1 Muharam penanggalan Islam atau 1 Suro bagi orang Jawa, Kabupaten Ponorogo pasti ramai.

Sekitar 38 peserta Festival Reog Nasional hadir di sini mempertontonkan kehebatan masing-masing.
Sebuah kelompok Reog biasanya beranggotakan 20 sampai 30 orang. Dan tokoh penting dalam kesenian ini adalah Warok. Ia sebagai pemimpin Reog dan pembawa singa barong.

Yang membuat Reog istimewa adalah pembawa singa barong. Butuh kekuatan ekstra untuk mengangkat singa atau dadak seberat 40 kilogram ini, hanya dengan mengandalkan kekuatan gigi. Sehingga banyak yang mengaitkan Reog dengan kekuatan supra natural.

Kesenian ini diduga peninggalan tradisi Kerajaan Hindu Kediri yang berkuasa sekitar tahun 1045 hingga tahun 1222 Masehi. Karena itu pentas Reog tidak pernah lepas dari pakem cerita peperangan antara Kerajaan Bantar Angin dan Kediri.

Kesenian tetap bertahan karena tidak lepas dari peran seorang Lembu Kanigoro alias Batoro Katong keturunan Raja Brawijaya ke V yang telah memeluk Islam.

Batoro Katong yang juga merupakan murid Sunan Ampel menyebarkan Islam di bumi Ponorogo melalui kesenian Reog.

Untuk mengigatkan jasa dan peran Batoro Katong, masyarakat Ponorogo melakukan pawai sejauh 20 kilometer dari Kota Ponlama ke Kabupaten yang baru. Pawai ini juga melambangkan peristiwa Hijrah dari tradisi Hindu ke tradisi Islam.

Begitu pentingnya sosok Batoro Katong dalam kesenian Reog, Kami mengunjungi makamnya. Disampingi Anam Adriansyah, Budayawan Ponorogo Kami berkenalan dengan Sunardi, sang juru kunci. Ia sudah puluhan tahun menekuni pekerjaannya.

Makam Batoro Katong ini sangat dihormati di Ponorogo. Karena dialah yang mengubah wajah kesenian Reog yang dahulunya citranya buruk, kini perlahan mulai berubah.

Citra buruk yang melekat pada kesenian ini adalah Warok. Warok dikenal sebagai manusia sakti. Namun kesaktiannya akan berkurang, bahkan hilang bila ia berhubungan intim dengan perempuan, walaupun istrinya sekalipun.

Karena pantangan ini, hadirlah sang Gemblak. Sosok pemuda belia berumur antara 10 hingga 17 tahun. Dialah yang menjadi teman hidup sang Warok. Bagi seorang Warok, semakin banyak Gemblak yang dimiliki, kian tinggi status sosial yang dia sandang.

Benarkah Sebagai Pemuas Nafsu ?

Rumah yang Kami kunjungi ini adalah rumah seorang Warok Raden Darwijanto. Mbah Darwi, demikianlah yang biasa disapa. Beberapa perangkat yang dijadikan alat kesaktian seperti keris, tombak dan sebagainya nyaris memenuhi ruang tamunya.

Sebagai seorang Warok, Mbah Darwi pernah punya Gemblak hingga 5 orang. Tapi kini ia mengaku tidak punya lagi. Seseorang diakui sebagai Warok bila ia punya ilmu kanuragan atau ilmu kekebalan. Agar kesaktian ini terjaga, Warok harus jauh dari perempuan. Sehingga untuk pemuas batin maka diperlukan Gemblak.

Namun tidak sedikit pula Warok yang membangun keluarga dengan beristri dan memiliki anak. Tapi konon, perlahan dan pasti diyakini kesaktiannya akan berkurang.

Untuk mendapatkan Gemblak, seorang Warok harus melakukan peminangan terhadap orangtua calon Gemblak dengan berbagai syarat. Selayaknya meminang calon istri.

Biasanya Gemblak dikontrak selama 2 tahun. Setelah selesai sang Warok akan memberi modal untuk masa depan si Gemblak, seperti seekor sapi. Namun kontrak bisa diperpanjang lagi tergantung pada bosan tidaknya sang Warok.

Menurut Mbah Darwi yang juga pengajar di sebuah SMP ini tidak setiap Warok memelihara Gemblak untuk kepentingan pemuas seks menyimpang. Dirinya memperlakukan Gemblak layaknya anak asuh. Gemblak di pelihara dan mendapat pendidikan.

Karena itu juga umumnya orangtua calon Gemblak tidak menolak jika putranya dilamar sang Warok. Apalagi calon Gemblak datang dari keluarga tidak mampu.

Kami juga menemui seorang mantan Gemblak. Sebut saja namanya Kumbang. Ketika usianya masih belasan tahun, ia sudah dipinang seorang Warok. Saat itu sang ayah sudah meninggal, ibunya pun tidak bisa berbuat banyak untuk menopang hidup.

Tanpa paksaan ataupun takut Kumbang menjadi Gemblak. Ia tidak menyesal dengan profesinya. Namun toh ia tetap malu mengungkap jati dirinya. Dalam keseharian, seorang Gemblak melayani keperluan sang Warok seperti memelihara hewan kesayangan dan menyiapan minuman.

Saat-saat menyenangkan biasanya terjadi ketika Gemblak diajak sang Warok bepergian. Masing-masing bangga dengan pasangannya. Gemblak yang tanpan dan Warok yang mapan. Namun bukan saja sang Warok yang bisa memiliki Gemblak. Namun ada sosok lain yakni Pengemblak.

Betulkan Itu Masa Lalu

Dalam dunia Reog Ponorogo juga dikenal dengan istilah Pengemblak. Ia bukan Warok, tapi pernah memimpin grup Reog. Mbah Misman KS, misalnya. Dengan blak-blakan ia menuturkan pengalamannya. Ia mengaku pernah memiliki Gemblakan lebih dari 4 orang. Tujuan awalnya memelihara Gemblak untuk memiliki ilmu kanuragan dan kesaktian, agar seperti Warok.

Misman memperlakukan Gemblak layaknya seorang istri. Bahkan untuk pemuas hasrat seksual Misman melakukan hubungan badan dengan Gemblak. Tapi soal bentuk hubungan intim itu biasanya tergantung pada kehendak sang tuan.

Tapi perlahan ia pun mulai berubah, seiring kian lekat dirinya mendalami agama Islam. Ia merasa Warok identik dengan perilaku negatif seperti mabuk-mabukan, merampok dan perilaku seks menyimpang yang dipersenifikasi dengan Gemblak. Sekarang, ayah 6 anak inipun memilih hidup normal menjadi petani.

Di Ponorogo, citra Warok yang negatif sebetulnya sudah sejak puluhan tahun lalu terus diperbaiki. Bahkan sejak Batoro Katong mulai menyebarkan agama Islam di tanah ini.

Salah satu saksi perubahan itu adalah Kasni Gunopati atau yang lebih dikenal sebagai Mbah Wo Kucing. Sekarang Warok kenamaan ini sakit-sakitan. Namun sesepuh Reog Ponorogo ini tidak pernah enggan menjernihkan makna Warok.

Sesuai dengan asal katanya muwarah yang bermakna penunjuk atau penuntun, seorang Warok sejatinya bukanlah seorang yang sombong dan takabur. Tapi Warok merupakan sosok manusia teladan siap memberikan tuntutan dan pengajaran serta perlindungan tanpa pamrih kepada masyarakat.

Mengubah citra Warok berarti juga mengubah keberadaan Gemblak, sesosok lelaki belia yang ganteng dan kemayu kini berganti dengan kehadiran penari jatil yang diperankan perempuan. Merekalah yang mengantikan posisi Gemblak dalam setiap pentas Reog.

Dalam kesehariannya pun kini sudah sulit menemukan praktek Gemblak. Kalaupun ada mungkin tidak seintim dahulu. Tidak gampang mengubah perilaku. Buktinya puluhan tahun berlalu, kisah sumbang hubungan Warok dengan Gemblaknya masih bergaung.

Memang mengubah citra kesenian tidak semudah membalikan tangan, karena Reog mengakar dari sebuah tradisi. Sebagai sebuah tontoan, Reog tetap menarik dan menghibur. Tanpa Sang Warok kesenian ini kehilangan makna, kendati sosok menyeramkan ini memiliki sisi kehidupan yang gelap. (Sup)

Mirah dan Joko Lancur

            Sebagai warga Ponorogo tentu kita pernah dengar mitos tentang desa Golan dan Desa Mirah di Kecamatan Sukorejo. Mitos itu terus berkembang dalam masyarakat sejak dahulu hingga sekarang. Diantara mitos tersebut adalah air dari desa Golan tidak mau bercampur dengan air dari Desa Mirah, orang akan mengalami kebingungan ketika membawa benda atau barang dari Golan ke Mirah dan sebaliknya. Adalagi orang Mirah tidak diperkenankan menanam kedelai, orang Golan dan Mirah jika bertemu ditempat orang hajatan dimana saja akan mengalami gangguan, tidak akan terjadi perkawinan antara orang Golan dan Mirah.
Itulah beberapa mitos yang berkembang dimasyarakat. Berkembangnya mitos tersebut tidak lepas dari cerita turun menurun yang diwariskan leluhur. Cerita tersebut terus berkembang dimasyarakat hingga sekarang. Berikut sedikit cerita Golan Mirah

          Pada zaman dahulu di Desa Golan hiduplah seoarang tokoh terkenal yang memiliki kesaktian yang tinggi serta gagah berani sehingga disegani oleh masyarakat sekitar. Orang itu bernama Ki Honggolono. Karena kebijaksanaan dan kelebihan-kelebihan yang dimiliki Ki Honggolono, beliau diangkat menjadi Palang atau kepala desa dan mendapat sebutan Ki Bayu Kusuma. Ki Honggolono memiliki adik sepupu yang bernama Ki Honggojoyo yang lebih dikenal dengan sebutan Ki Ageng Mirah. Ki Honggolono memiliki seorang putra yang tampan dan gagah perkasa yang bernama Joko Lancur. Joko Lancur adalah pemuda tampan yang mempunyai hobi menyabung ayam dan mabuk-mabukan. Sedangkan Ki Ageng Mirah mempunyai putri yang sangat cantik yang bernama Mirah Putri Ayu. Mirah Putri Ayu menjadi bunga desa dan mendapat julukan Mirah Kencono Wungu.

         Joko Lancur memiliki kegemaran menyabung ayam, kemanapun ia pergi tak pernah pisah dari ayam jago kesayangannya. Pada suatu hari ketika akan menyabung ayam, Joko Lancur melewati Mirah. Ditempat itulah ayam kesayangannya lepas. Maka gundahlah hatinya Karena peristiwa itu. Berbagai cara dilakukannya untuk menangkap ayam itu namun tidak berhasil. Sampai akhirnya ayam tersebut masuk ke ruang dapur Ki Ageng Mirah. Mirah Putri Ayu yang sedang membatik di dapur sangatlah terkejut melihat ada seekor ayam jantan yang masuk ke dalam rumahnya. Mirah Putri Ayu berhasil menangkap ayam tersebut, dan sangatlah senang hatinya karena ternyata ayam tersebut sangatlah jinak.

Tak lama kemudian masuklah Joko Lancur yang mencari ayamnya, alangkah kagetnya Joko Lancur melihat ayam kesayangannya berada dalam pelukan perawan jelita yang belum dikenalnya. Joko Lancur tidak segera meminta ayam kesayangannya, namun terpesona kecantikan Mirah Putri Ayu. Sebaliknya Mirah Putri Ayu juga sangat mengagumi ketampanan Joko Lancur. Keduanya saling curi pandang, berkenalan hingga menaruh suka diantara mereka. 

         Joko Lancur tidak mengetahui jika ternyata pamannya Ki Ageng Mirah memiliki putri yang sangat cantik dikarenakan Mirah Putri Ayu merupakan gadis pingitan yang tidak boleh bergaul dengan sembarang orang. Ditengah keasyikan obrolan mereka, tiba-tiba Ki Ageng Mirah masuk kedapur dan menemukan Joko Lancur sedang berdua dengan putrinya. Ki Ageng Mirah marah kepada Joko Lancur karena dianggap tidak memiliki tata karma serta tidak memiliki sopan santun karna telah berani masuk kerumah orang lain tanpa meminta ijin pemilik rumahi terlebih dahulu. Joko Lancur menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya, namun Ki Ageng Mirah tidak mau peduli penjelasan Joko Lancur. Akhirnya Joko Lancur diusir dan disuruh segera meninggalkan rumah Ki Ageng Mirah. Joko Lancur segera pulang dengan perasaan malu dan cemas, namun dibenaknya selalu teringat akan kecantikan Mirah Putri Ayu.

        Waktu terus berjalan, Joko Lancur tidak seperti biasanya yang selalu pergi dengan ayam kesayangannya, namun Joko Lancur lebih sering mengurung diri dalam kamar, sering melamun,menyendiri, sering tidak makan dan tidak tidur karena memikirkan Mirah Putri Ayu. Keadaan ini akhirnya diketahui ayahnya Ki Honggolono. Setelah ditanya, Joko Lancur menyampaikan kepada ayahnya jika dirinya sedang jatuh hati pada Mirah Putri Ayu. Karena Joko Lancur merupakan anak semata wayangnya, Ki Honggolono segera menuruti keinginan putranya untuk melamarkan Mirah Putri Ayu.

       Berangkatlah Ki Honggolono menuju rumah Ki Ageng Mirah untuk melamar Mirah Putri Ayu. Kedatangan Ki Honggolono disambut dengan muka ceria oleh Ki Ageng Mirah, meskipun dalam benak Ki Ageng Mirah tidak sudi memiliki calon mantu seorang penjudi sabung ayam. Ki Ageng Mirah berupaya menolak lamaran tersebut dengan cara yang halus agar tidak menusuk perasaan keluarga Ki Honggolono, maka diterimalah lamaran tersebut dengan beberapa syarat diluar kemampuan manusia. Syarat yang diajukan Ki Ageng Mirah adalah supaya dibuatkan bendungan sungai untuk mengairi sawah-sawah di Mirah serta serahan berupa padi satu lumbung yang tidak boleh diantar oleh siapapun, dalam arti lumbung tersebut berjalan sendiri. Syarat tersebut disanggupi oleh Ki Honggolono.

         Dengan kesanggupan Ki Honggolono untuk memenuhi persyaratan tersebut, Ki Ageng Mirah merasa khawatir dan berusaha menggagalkan pembuatan bendungan dan pengumpulan padi yang dilakukan Ki Honggolono. Sementara itu Ki Honggolono dengan bantuan murid-muridnya bekerja keras untuk membuat bendungan dan mengumpulkan padi. Berkat kerja kerasnya dalam waktu yang singkat syarat yang diajukan Ki Ageng Mirah mendekati keberhasilan. Dengan melihat apa yang dilakukan Ki Honggolono, Ki Ageng Mirah menemukan strategi untuk menggagalkan apa yang dilakukan Ki Honggolono. Ki Ageng Mirah meminta bantuan Genderuwo untuk mengganggu pembuatan bendungan serta mencuri padi-padi yang sudah dikumpulkan.

        Apa yang dilakukan Ki Ageng Mirah diketahui oleh Ki Honggolono. Ki Honggolono tidak mau lagi mengisi lumbung dengan padi, tetapi diganti dengan damen (jerami) dan titen (kulit kedelai). Dengan kesaktian yang dimiliki Ki honggolono, damen dan titen tersebut disabda menjadi padi. Mengetahui isi lumbung bujan padi, genderuwo utusan Ki ageng Mirah beralih mengganggu pembuatan bendungan dengan menjebol bendungan yang belum selesai dibuat. Namun ternyata hal tersebut juga diketahui oleh Ki Honggolono. Ki Hongggolono kemudian meminta bantuan kepada buaya yang jumlahnyaa ribuan untuk menangkap genderuwo ketika mengganggu pembuatan bendungan. Akhirnya genderuwo dapat dikalahkan dan pembuatan bendungan berjalan lancar.

        Semua persyaratan sudah lengkap, Ki Honggolono menyabda lumbung padi untuk berangkat sendiri, diikuti oleh rombongan mempelai laki-laki. Awal kedatangan rombongan mempelai laki-laki disambut baik oleh Ki Ageng Mirah. Namun Ki Ageng Mirah juga bukan orang biasa, dengan kesaktiannya Ki Ageng Mirah tahu apa isi sebenarnya lumbung padi yang dibawa mempelai laki-laki. Dihadapan para tamu yang hadir Ki Ageng  Mirah menyabda lumbung tersebut dan seketika berubahlah padi dalam lumbung menjadi damen dan titen.

        Dengan peristiwa tersebut terjadilah adu lidah dan berlanjut adu fisik antara Ki Honggolono dan Ki Ageng Mirah. Ketika terjadi percekcokan, Joko lancur mencari mirah Putri Ayu, keduanya tahu apa yang terjadi diantara kedua ayahnya sehingga mereka memutuskan untuk bunuh diri bersama. Masih bersamaan terjadinya peperangan, bendungan yang dibuat Ki Honggolono ambrol dan terjadilah banjir bandang yang menewaskan banyak orang.

       Usai peperangan Ki Honggolono berhari-hari mencari putra kesayangannya, Joko Lancur. Tetapi ternyata ketika ditemukan putranya sudah tewas bersama kekasih dan ayam kesayangannya. Jasad Joko Lancur kemudian dimakamkan bersama ayam jagonya dan makam tersebut diberi nama Kuburan Setono Wungu.

Dari peristiwa yang telah usai, dihadapan para muridnya Ki Honggolono besabda : “Wong Golan lan wong Mirah ora oleh jejodhoan. Kaping pindo,isi-isine ndonyo soko Golan kang ujude kayu, watu, banyu lan sapanunggalane ora bisa digowo menyang Mirah. Kaping telu, barang-barange wong Golan Karo Mirah ora bisa diwor dadi siji. Kaping papat, Wong Golan ora oleh gawe iyup-iyup saka kawul. Kaping limone, wong Mirah ora oleh nandur, nyimpen lan gawe panganan soko dele.

           Semenjak kehilangan putra kesayangannya Ki Honggolono  banyak merenung. Walaupun banyak harta melimpah ternyata tidak membuat hidupnya tenang dan tidak mendapatkan ketenangan batin. Akhirnya Ki Honggolono insyaf dan taubat atas semua perbuatannya dan mulai belajar syariat Islam. Demikian juga yang dilakukan Ki ageng Mirah, karena peristiwa tersebut beliau kemudian berguru ke seorang Kiyai.