Asal-usul Reog Ponorogo

            
            Baru”ini siapa Pemilik Asli Kesenian REOG menjadi perdebatan dari berbagai pihak.Bahkan tanpa segan ada yang mengklaim Kesenian Asli  Indonesia ini menjadi miliknya tanpa mengetahui sejarah”Reog tempo dulu.Mereka ingin mengambil alih Reog,Warisan Budaya Indonesia yang juga menjadi  kontribusi pada pembentukan sikap perilaku dan pola pikir masyarakat Ponorogo pada umumnya.

Namun taukah Mereka Latar belakang dan Asal-usul reog itu sendiri????Apakah mereka punya sejarah di masa lalu yang bias di jadikan Bukti bahwa generasi sebelum mereka mengenal reog itu sendiri??

             Pemerintah Kabupaten Ponorogo sebagai pemilik ‘SAH‘ seni adilihung itu.Dalam buku Pedoman Dasar Kesenian Reyog Ponorogo Dalam Pentas Budaya Bangsa, yang diterbitkan pada 1 Agustus 1993, jelas tergambar bagaimana seni reog lahir.   Buku yang diterbitkan era Bupati Gatot Sumani itu, menyebutkan reog Ponorogo yang semula disebut BARONGAN sebagai sindiran dari Demang Ki Ageng Kutu Suryongalam terhadap Majapahit, Prabu Brawijaya V yang bergelar Bhree Kertabumi. Terwujudnya barongan merupakan sindiran kepada raja yang sedang berkuasa yang BELUM melaksanakan tugas-tugas kerajaan secara tertib, adil dan memadai. Sebab, kekuasaan raja dikuasai atau dipengaruhi bahkan dikendalikan oleh permaisurinya.

            Budaya rikuh pakewuh sangat kuat di benak masyarakat untuk mengingatkan atasannya. Oleh karena itu metode sindiran merupakan salah satu cara untuk mengingatkan atasannya secara halus. Menurut buku yang dirumuskan oleh tim yang berjumlah 10 orang ini , juga tertulis pola pendekatan dengan bahasa seni adalah merupakan media efektif dan efisien yang hasilnya akan berdampak positif penuh pengertian mendalam.

             Ki Ageng Suryongalam menyadari, sebagai bawahan tidak dapat berbuat banyak. Maka alternatif lain yang ditempuh terpaksa memperkuat dirinya denegen pasukan perang yang terlatih berikut waroknya dengan berbagai ilmu kanuragan. 


           Berawal dari cerita inilah asal ususl reog Ponorogo dalam wujud seperangkat merak dan jathilan sebagai manifestasi sindiran kepada Raja Majapahit. Raja dikiaskan sebagai harimau yang ditunggangi oleh merak sebagai lambang permaisuri ( yang menguasai suami ).
 

            Perkembangan seni reog waktu itu terus bertahan dan berkembang. Yang awalnya sebagai media untuk mensindir raja, akhirnya berkembang sebagai media komunkasi langsung kepada masyarakat. Pada masa kekuasaan Batoro Katong oleh KI Ageng Mirah ( pendamping setia Batoro katong ), dipandang perlu tetap melestarikan barongan tersebut sebagai alat pemersatu dan pengumpul masa yang efektif. Sekaligus sebagai media infomrasi dan komunikasi langsung kepada masyarakat.

            Dengan daya cipta dan rekayasa yang tepat Ki Ageng Mirah membuat cerita legendaris, yaitu terciptanya kerajaan Bantarangin dengan rajanya Klana Sewandono yang sedang kasmarana 

( Klana Wuyung ).Hasil daya cipta Ki Ageng Mirah ini berkembang di masyarakat Ponoprogo dan diyakini hingga kini cerita itu benar-benar terjadi. Bahkan diyakini, bekas kerajaan Bantarngin ini masih tetap ada yang berlokasi di wilayah Somoroto kecamatan Kauman.







Perjalanan Panjang Reog Ponorogo

              Keberhasilan Batoro Katong dalam mengamankan wilayah kerajaan Majapahit, khususnya Kadipaten Ponorogo dan berhasil pula menyiarkan agama Islam secara damai, maka dalam dadak merak ditambah satu tetenger ( tanda) dengan seuntai merjan ( tasbih ). Tasbih ini diletakkan pada ujung paruh merak, sedangkan lambang ular yang sudah ada tetap utuh terpelihara. Perkembangan reog yang semakin digemari oleh masyarakat bagian wilayah Kerajaan Majapahit khususnya Ponorogo, terus tumbuh dan berkembang lengkap dengan warok dan gemblaknya


           Oleh Batoro Katong sendiri alat-alat kesenian dimanfaatkan sebagai media da’wah. Menurut bupati pertama Ponorogo itu, kata REYOG berasal dari kata RIYOQUN yang maknanya berarti Khusnul Khotimah. Menurutnya, walau pun seluruh perjalanan hidup manusia dilumuri dengan berbagai dosa dan noda, bilaman sadar dan beriman akhirnya bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Demikin pula instrumen alat musik untuk mengiringi tarian reog masing-masing juga diberi nama yang bermakna oleh Batoro Katong. Tentunya semuanya mengarah pada satu tujuan DA’WAH.


Kesenian Reog Ponorogo dalam pentas seni pernah mengalami pasang surut. Pada masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang kesenian yang penuh dengan unsur magis yang vulgar ini, mengalami masa suram. Hal itu karena dengan seringnya masyarakat berkumpul akan mengundang kecurigaan pemeritahan penjajahan waktu itu. Yang pada akhirnya seni reog dilarang sama sekali.


Kemunculan kembali seni yang penuh dengan batiniah dilapisi unsur magis ini, terjadi setelah Indoensia meredeka pada 17 Agustus 1945. Namun sangat disayangkan, karena dijadikan sebagai alat organisasi politik pada masa itu. Maka akhirnya muncullah beberapa perkumpulan reog Ponorogo seperti BREN ( Barisan Reyog Nasional ), CAKRA ( Cabang Kesenian Reyog Agama ), BRP ( Barisan Reyog Ponorogo ), KRIS ( Kesenaian Reyog Islam ) dan sebagaianya.


Untuk membendung kekuatan Reyog PKI pada saat itu, muncullah seni Gajah-gajahan dan Unta-untaan yang terjadi pada masa puncak kejayaan Nasakom. Di mana waktu itu PKI mendominasi seni ini dengan barisan Reyog Ponorogonya. Baru setelah PKI dibubarkan kesenian Reyog Ponorogo muncul kembali dan mulai dibina secara utuh dan terarah oleh Pemerintah Orde Baru
 

.                                                                                                      

Makna dari Dominasi Warna Reog

            Selain warna bulu merak yang indah, kalau kita amati ada 4 (empat) warna yang dominan dalam kesenian reog yaitu hitam, putih, kuning dan merah. Empat warna inilah, hampir pasti mendominasi semua atribut dalam Reog. Pakaian pengiring menggunakan "penadon" berwarna hitam dipadu dengan kaos bergaris dengan perpaduan warna merah - putih, ornamen Dhadak merak terdiri dari krakap berwarna merah atau hitam, kupingan bewarna kuning dan merah atau kuning - putih, sampur biasanya menggunakan warna kuning, putih atau merah dan lain sebagainya. Warna - warna mencolok inilah yang dominan dan menambah keindahan kesenian reog.

Warna - warna ini bukanlah tanpa makna namun para pinesepuh telah menempatkan warna yang mempunyai makna atau yang menyimbolkan nafsu - nafsu yang ada dalam diri manusia. Secara garis besar warna -warna itu menyimbolkan

:

1. Warna Merah menyimbolkan nafsu AMARAH
2. Warna Putih menyimbolkan nafsu MUTH'MAINAH
3. Warna Hitam menyimbolkan nafsu ALWAMAH
4. Warna Kuning menyimbolkan nafsu SUFIYAH

           Simbol nafsu manusia ini dapat dipahami secara mendalam oleh beberapa atau pemain dan penonton kesenian reog. Wacana ini dapat diterangkan oleh sesepuh atau penangkapan secara alami oleh penonton dan penari. Simbolisasi ini juga relevan dengan proses kejiwaan dalam ilmu kanuragan Jawa yaitu dimulai dari proses KANURAGAN, KASEPUHAN, KASUKSMAN dan KASAMPURNAN.

           Simbolisasi atas warna - warna dominan dalam kesenian Reog inilah yang dapat dipetik dari tujuan Tontonan yang bisa membawa ke arah Tuntunan. Makna mendalam yang dapat dipelajari dan dijabarkan secara detail ini, pada jaman sekarang menjadi bahan antik yang tidak perlu atau sudah usang untuk dipelajari. Padahal dari pengertian dan pemahaman sedikit inilah jiwa kita akan selalu terasah.

Komponen Dalam Pertunjukan Reog


  •  Komponen Penari dalam Reog Ponorogo.Ada 5 , yaitu: 

 1.Prabu Klono sewandono    4.Jathil
 2.Patih Bujangganong            5.Warok
 3.Pembarong
                                                      











          


                                                                 

                                                                 
                                                               
                      
                                                                               
                                                                                             

                                                                                                         

Nilai Adiluhung Reog

    Budaya selalu menyatu erat dengan aspek kehidupan masyarakat, termasuk budaya Reog Ponorogo bagi masyarakat Ponorogo. Nilai-nilai yang terkandung dalam seni budaya reog Ponorogo tentu saja sudah terinternalisasi lama di dalam kehidupan masyarakat Ponorogo yaitu sepanjang sejarah reog Ponorogo itu sendiri, hal inilah yang secara langsung memberi kontribusi pada pembentukan sikap, perilaku dan pola pikir masyarakat Ponorogo pada umumnya, disadari maupun tidak disadari.
          Nilai apa yang sesungguhnya  terkandung dari seni budaya reog Ponorogo, tentunya tidak terlepas dari sudut pandang mana dan bagaimana kita menafsirkannya. Penafsiran bisa saja multi tafsir, tetapi tentunya hal itu tidak cukup menjadikan alasan  bagi kita untuk saling berseteru antar sesama warga Ponorogo
          Reog Ponorogo terbangun atas kesatuan dari singo barong dan dadak merak kemudian permainannya diangkat di atas kepala pembarong dengan cara digigit kuat ini memiliki perlambang yang tidak sepele.
  • Singo Barong,..kepala harimau, adalah representasi dari kekuatan, kesaktian dan kekuasaan.
  • Dadak merak,... burung berbulu sangat indah, bergaya anggun, bak bidadari, adalah representasi dari keindahan, kelembutan, dan keluhuran.

           Jadi reog Ponorogo adalah representasi menyatunya dalam satu diri / bercampurnya unsur kekuatan dan keindahan, kesaktian dan kelembutan, kekuasaan dan keluhuran. Reog adalah representasi dari Raja berhati bidadari, Ksatria berhati lembut, Penguasa berjiwa luhur yang mengayomi Rakyat.

          Dari posisi dadak merak adanya di atas singo barong,…ini adalah representasi keindahan selalu ditempatkan di atas kekuatan, dengan maksud: selalu mengutamakan keindahan budi pekerti dalam setiap aspek kehidupan.

Adakah nilai-nilai ini sudah mengilhami kita sebagai pewaris budaya reog Ponorogo?
           Para warok,…mereka memainkan reog dengan mengangkat di atas kepala dan menggigit kuat singo barong berukuran panjang sekitar 2,25 meter, lebar sekitar 2,30 meter, dan beratnya hampir 50 kilogram dengan gigi mulutnya, ini sesungguhnya perlambang bahwa para warok harus mempunyai komitment yang kuat dalam menjunjung tinggi nilai-nilai yang terkandung dalam budaya reog seperti teruraikan di atas.
           Para warok,..harus memiliki kekuatan fisik dan kedigdayaan, tetapi kekuatan dan kedigdayaan itu bukan untuk menindas.bukan untuk pamer dan gagah-gagahan.
Warok sejati sebagaimana disampaikan oleh Mbah Wo Kucing sebagai seorang tokoh dan sesepuh Ponorogo warok itu sikap hidupnya seperti ilmu padi “semakin berisi semakin menunduk”.
  • Warok sejati adalah,… Raja berhati bidadari, Ksatria berhati lembut, Penguasa berjiwa luhur yang mengayomi.  
          Jadi Jiwa Warok Ponorogo Kalau dia berkedudukan sebagai penguasa tidak sesekali menggunakan kekuasaannya untuk menindas rakyat,  melakukan kesewenang-wenangan, berbuat asusila dll. Melainkan dia adalah pemimpin yang mendedikasikan diri untuk mengayomi, mengangkat, meninggikan derajat, martabat, kesejahteraan dan kemuliaan rakyatnya.

,….dia bukan seorang Rahwono yang hobi menculik wanita dansuka memakan harta Negara, dia bukan Ken Arok yang menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan, dia bukan type orang yang menghalalkan segala cara untuk mendaki jabatan, dia bukan type orang yang suka menikam teman dari belakang, dia pasti bukan type orang yang suka menjilat,dia orang-orang yang berani berkata TIDAK untuk ketidakbenaran, kesewenang-wenangan dan ketidakadilan.

          Intinya, dalam profesi apa pun, dalam kapasitas apa pun, para warok adalah mereka yang dalam hidupnya selalu memegang teguh komitment untuk menjunjung tinggi nilai-nilai hidup yang meninggikan derajat dan martabat kemanusiaan demi terwujudnya harmoni, keadilan sosial dan kesejahteraan hidup masyarakat.